Kamis, 31 Maret 2011

Rekam Kegiatan Diskusi Rutin ke-5


ORGANISASI PEMENANGAN, DANA LOGISTIK
DAN STRATEGI KAMPANYE
Graha Sekar Jagad, Hotel Santika, Yogyakarta
Sabtu, 7 Februari 2009
 
 
Diskusi dihadiri oleh 70 peserta dari 15 partai politik, antara lain PG, PDIP, PAN, PPP, PD, PKB, PBB, PBR, PDK, PKNU, PMB, Gerindra, P Merdeka, PPRN dan PDP dan anggota KPUD Prov. DIY yang dipandu Hari Subagyo (sekretariat FP Yogya), dengan narasumber Warsito Ellwein (Program Manager FNS Indonesia). Tema Diskusi Ke 5 ini didasarkan rekomendasi topik yang diajukan sebelumnya pada putaran Diskusi Ke 4. Adapun menurut narasumber, pokok-pokok yang terbahas dalam tema ini diolah berdasar hasil muatan sharing kegiatan temu politisi lintas parpol di berbagai daerah yang difasilitasi oleh FNS. Berikut ini muatan yang terbahas dalam floor.

  • Keputusan tentang suara terbanyak oleh MK telah mengalihkan sejumlah strategi kampanye para caleg. Dalam perspektif kerja ’individual strugle’ sudah banyak dilakukan upaya mulai tahap untuk dikenal, diketahui, disukai, didukung, hingga kemudian dipilih oleh konstituen. Mungkin harus dipahami di tahap manakah posisi kita sehingga terukur pembesaran capaian itu. Memperbesar posisi ini merupakan nilai pencitraan diri agar dapat dimaksimalkan oleh orang (tim) yang bekerja bagi kita.
  • Kerja politik adalah kerja bersama sehingga mensyaratkan adanya manajemen agar tidak kacau (kontraproduktif). Kuncinya adalah perencanaan dan tujuan, sedangkan faktornya adalah organisasi. Dalam kerja bersama job deskripsi mesti jelas, selain mesti ada mekanisme-prosedur juga monitoring dan evaluasi serta pengelolaan konflik. Visi dan misi caleg diharap semakin jelas dan mengerucut, sehingga diharapkan terdapat ”prioritas untuk waktu terbatas” bagi multiplikator. Misalnya, pedagang bakso keliling kampung dapat menjadi multiplikator.
  • Ruang gesekan kini meluas di internal dan eksternal parpol hingga ke kalangan konstituen yang potensi menimbulkan kerawanan. Sekalipun caleg sudah antusias mengadakan pendidikan politik, bahkan door to door, tak jarang pada simpul-simpul tertentu di komunitas juga dikunjungi caleg parpol lain sehingga alat ukur loyalitasnya belum tentu efektif menjadi multiplikator. Kerapkali dialami bahwa calon pemilih lebih dulu ”menodong” sementara caleg belum tentu mempunyai dana yang cukup. Ironinya, mereka kemudian mencibir jika caleg tidak punya uang. Katanya, ”jer basuki mowo beyo” (bhs. Jawa: Jika mau sesuatu harus mengorbankan/mengeluarkan sesuatu —berupa uang, tenaga dan waktu). 
  • Masyarakat sebagian merasa telanjur dibohongi oleh janji pemilu sebelumnya. Kekecewaan ini kemudian ditransaksikan dalam modus maraknya budaya politik uang dan pramatisme pemilih. Padahal pendidikan politik tidak bisa dijalankan instan, tapi harus berkelanjutan agar pemilih/konstituen semakin cerdas mengapresiasi caleg maupun parpol.
  • Minimnya sosialisasi pemilu akibat anggaran maupun waktu (oleh KPU, parpol dan LSM) sekarang ini biasanya efektif hanya mampu dilakukan dengan tatap muka. Belum lagi kendala lain, misalnya ada kasus di mana sebuah kampung (komunitas) mengumumkan/melarang secara halus agar tidak boleh dipasangi alat/atribut politik dengan alasan keamanan dan ketentraman. Atau sebaliknya, ada pengalaman salah satu caleg PPP di lingkungan tempat tinggalnya yang mayoritas pengusaha dan pendidik malahan terkesan apatis terhadap politik.
  • Strategi pendanaan kampanye sepertinya sudah ”digali habis” baik dari pribadi (keluarga) kandidat ataupun sumber-sumber lain, yang mungkin saling beririsan, misal pengadaan logistik atribut berkolaborasi dengan caleg lain (DPR-RI, DPRD Prov. dan DPRD Kab/Kota) tetapi masih di dapil yang sama. Sangat sulit mengelola uang yang sedikit bagi peruntukkan (alokasi) yang banyak. Bahkan tim yang seharusnya memperlancar sukses kampanye tak sedikit menambah beban ketika harus masuk di suatu wilayah (misal, di RW atau dusun) terbentur manuver broker politik lokal.
  • Diinformasikan KPUD DIY oleh M. Nasrullah, sampai hari ini (siang, tanggal 7 Februari 2009) baru ada 9 parpol melaporkan dana pemilu tingkat provinsi. Kesembilan parpol itu adalah PDIP, PG, PAN, PKPB, PDS, PNI Marhaenisme, PNUI, PPPI dan BARNAS. Sebelumnya menjadi sangat aneh jika ada parpol melaporkan rekening dana pemilu tingkat provinsi hanya sebesar beberapa ratus ribu rupiah.
  • Seperti biasanya, di sesi terakhir diskusi, dipersilakan usulan-usulan topik yang akan dibahas di putaran Diskusi Ke- 6 ke depan. Salah satu yang direkomendasi floor, yakni tentang menyiasati fenomena politik uang. @ms

Tidak ada komentar:

Posting Komentar