Jumat, 20 Mei 2011

Diskusi Reguler ke-13 (Sabtu, 21 Mei 2011, pkl. 09.30)

Kader Pindah Partai Versus Penguatan Partai Politik
 
Politisi pindah partai terjadi sudah lama. Sejak pemilu multipartai (1999, 2004, 2009) kecenderungan ini merebak di semua lini, di pusat maupun daerah, terutama di kalangan kader-kader yang berkeinginan mengaktualisasi peran dan karir politiknya optimal. Selain pertimbangan pragmatisme, banyak hal bisa melatari alasan mengapa seseorang ‘nyebrang’ ke partai lain khususnya partai yang dianggap mapan dan menjanjikan (the ruling party).

Lompat pagar timbul dengan beragam motif, di antaranya konflik internal, tidak terakomodasi kepentingannya, karir mentok, dan alasan lain bersifat praktis-subyektif. Sementara,
tidak ada mekanisme internal partai yang mengatur soal disiplin kader agar terus senantiasa loyal, committed, dedikatif, dan berintegritas tinggi. Aturan pemberian sanksi bagi kader ‘mbalelo’ tidak terumuskan di dalam regulasi partai sehingga potensi inkonsistensi kader dan politisi selalu terbuka, terutama menjelang pemilu.  

Gejala ini dapat menimbulkan ketidak-harmonisan internal partai dan menghambat regenerasi kader alami yang sejatinya justru kontra-produktif di tengah upaya pembangunan partai yang kuat dan kompetitif. Tidak saja kepentingan partai dirugikan, melainkan juga basis sosial dan konstituen pun merasa ditinggalkan dan dikelabui (baca: dikhianati)

Dalam sistem pemilu berbasis suara terbanyak, para kandidat memiliki preferensi politik jauh melebihi keleluasaannya dalam melakukan kompromi, konsesi dan barangkali transaksi. Alhasil, semula kader yang dikenal dari partai A, tiba-tiba ia sekarang datang dengan partai B. Lebih-lebih, terhadap partai yang asal comot dalam sistem rekruitasinya sehingga timbul istilah kader instan atau kader indekoost menjelang kontestasi berlangsung.   

Kader yang menduduki posisi eksekutif juga sangat leluasa menggunakan kendaraan koalisinya, termasuk meninggalkan keanggotaan partai pengusungnya saat berkeinginan tampil menjadi incumbent. Kasus Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Barat) yang keluar dari PAN dan pindah ke PD, misalnya, mendorong PAN untuk membuat semacam kontrak politik yang jelas terhadap kader yang menjadi kepala daerah agar selalu setia kepada platform dan keanggotaan partai. Bahkan, diusulkan revisi UU Pemilukada yang mengatur komitmen secara tegas agar tidak pindah partai sampai akhir masa jabatan, termasuk klausul pembayaran denda atau pencabutan dukungan politik.
  
Dalam kaitan penguatan institusi demokrasi, pertanyaannya apakah fenomena pindah partai boleh dianggap lumrah dan sah? Sejauhmana sanksi sosial dapat dilakukan oleh masyarakat untuk tidak memilih politisi ‘kutu loncat’? Apa saja antisipasi yang bisa ditempuh meminimalisasi kecenderungan ini? Bagaimana mengefektifkan code of conduct maupun kontrak politik yang mampu mendisiplinkan kader tetap loyal? Bagaimana kiat dan strategi mengelola sistem penjenjangan bagi karir kader secara konsisten dan berkelanjutan? Apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat (konstituen), dan partai politik dalam mengatasi soal ini?

Untuk itu, Sekretariat Forum Politisi Yogyakarta mengundang Bapak/Ibu Politisi dalam Diskusi Reguler ke-13 yang akan diselenggarakan pada:
Hari/tanggal     : Sabtu, 21 Mei 2011
Waktu              : Pkl. 09.45 – 12.30 (hingga makan siang)
Tema               : Kader Pindah Parpol Vs Penguatan Parpol”
Narasumber    : - Nico Warouw, Phd (Antropolog UGM)
-  Hestu Cipto Handoyo (Direktur Eksekutif Parlemen Watch Yogyakarta)
Tempat            : Ruang Sidoluhur, Lt. 2 Hotel Santika, Yogyakarta
                          Jl. Jend. Sudirman 19 Yogyakarta, Telp. 0274- 456 3036
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar