Kamis, 31 Maret 2011

Rekam Kegiatan Diskusi Rutin ke-9

MANAJEMEN KONSTITUEN:
Kerja Efektif Parpol dan Politisi
 Graha Jatinom, Hotel Santika, Yogyakarta  
Sabtu, 8 Mei 2010

Diskusi yang menghadirkan narasumber Dr. Kuskridho Ambardi (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia/LSI Jakarta) diikuti 32 peserta meliputi kader partai dan politisi dari DPRD Prov. DIY, DPRD Kabupaten Sleman, Kulon Progo, Bantul, dan Kota Yogyakarta, yang berasal dari PD, PDIP, PG, PKS, PAN, PPP, PKB dan P. Gerindra. Floor diskusi yang berjalan dalam 4 sesi ini dipandu oleh Hari Subagyo (Sekretariat FP Yogyakarta), dengan pernyataan pengantar oleh Rainer Huefers, Direktur Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) fuer die Freiheit. Berikut ini beberapa pokok pikiran yang mengemuka:

  •  Kerja-kerja politik di tingkat konstituen seperti tercerminkan oleh postur organisasi partai politik di Indonesia dilatari dua hal, (1) Ada kepentingan pusat yang tidak bisa konkruen dengan kepentingan daerah, (2) Persoalan lokal yang tidak mungkin diakomodir pusat, misalnya meliputi pendidikan, harga bahan pokok, lapangan kerja ataupun investasi daerah.
  • Partai politik diibaratkan the necessary evil, makhluk jahat yang kehadirannya diperlukan. Berwajah cemerlang, dan sekaligus buram. Kehadirannya demi alasan praktis di mana demokrasi modern mustahil diorganisasikan tanpa kehadiran partai politik. Alasan lebih substantif, partai bisa menyederhanakan proses politik demokratis dengan cara memberikan struktur pilihan politik bagi masyarakat melalui penawaran program yang diharap menyentuh kepentingan kolektif masyarakat. Selain itu, partai politik juga memiliki wajah buram. Sinisme publik menilainya sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya dibanding lembaga politik lainnya.
  • Menurut penelitian LSI, kinerja lembaga paling baik TNI, Presiden, Polri, KPK, sementara parpol dinilai buruk atau sangat buruk (48 persen) responden berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. Satu dekade akhir setelah melewati tiga periode pemilu, tingkat partisipasi terus menurun. Rekor tertinggi pada pemilu 1999 di mana 9 dari 10 pemilih datang ke TPS dan mencoblos partai pilihannya, lima tahun kemudian di tahun 2004 proporsi turun di mana 8 dari 10 orang memberikan suara, dan selanjutnya semakin menurun lagi tahun 2009 di mana hanya 6 dari 10 orang meluangkan waktu mencontreng.
  • Alasan trend penurunan partisipasi pemilu yang sering diajukan adalah kejenuhan di kalangan pemilih karena frekuensi pemilu daerah (pilkada) meningkat drastis. Dalam selang waktu antara dua pemilu nasional, dari tahun 2005 sampai 2008, Indonesia menyelenggarakan lebih dari 280 pilkada. Alasan ini sebenarnya lemah karena penurunan sudah terjadi tahun 2004, sementara itu pilkada mulai dilaksanakan Juni 2005. Faktor kejenuhan yang mestinya mulai muncul tahun 2005 tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di tahun sebelumnya. Yang lebih masuk akal adalah masyarakat pemilih mengalami kekecewaan terhadap kerja demokrasi dan lembaga-lembaga politik penopang demokrasi. Istilahnya political efficacy –yakni perasaan pemilih bahwa mereka bisa mempercayai lembaga politik dan meyakini mereka bisa mempengaruhi proses politik. Salah satu penyebab rendahnya political efficacy ini adalah persepsi masyarakat pemilih atas kinerja lembaga demokrasi di Indonesia. 
  • Beberapa partai mempunyai saluran informasi progam kepada para konstituen. Namun banyak konstituen tidak berhasil mengaksesnya. Relasi dibangun mulai dari pemetaan isu, riset isu dan membuat koneksi. Selanjutnya melakukan perencanaan database, peta pola hubungan dan membangun kontak. Hal ini seyogyanya dilakukan di tingkat terendah, misalnya anak cabang partai. Sehingga pola hubungan konstituen dapat diukur dan dipertanggung jawabkan.
  • Hubungan dengan parpol dicirikan jangka pendek (pendulang suara), satu arah (komunikasi sepihak), transaksional (kaos, uang, sembako, bangun masjid, pengerasan jalan, dll), yang ditopang lemahnya infrastruktur yang berakibat misalnya, dapat 5.000 suara tapi tidak tahu dari mana suara itu berasal, serta juga yang terpenting ialah tidak terbangunnya sistem nilai (ideologi).
  • Diakui peserta diskusi, tidak semua sebutan politik itu mahkluk jahat karena partai hanya alat sedang kejahatannya merupakan perilaku perseorangan. Jika marak politik uang, sesungguhnya karena timpangnya kesejahteraan, kemiskinan masih meluas dan tingkat pendidikan rendah. Mengenai politik uang apakah ini sudah merupakan karakter bangsa atau perilaku menyimpang? Bagaimana instrumen politik bekerja dan siapa yang berperan menjalankan pendidikan politik selain partai? Selain itu perlu kesepakatan bersama melakukan gentlement agreement untuk tidak bermain politik uang, pemberian sanksi hukum dan ditangani jangka panjang dalam hidup beretika. @ms

Tidak ada komentar:

Posting Komentar