Kamis, 31 Maret 2011

Rekam Kegiatan Diskusi Rutin ke-8

PERENCANAAN, PENYUSUNAN, & PENGAWASAN ANGGARAN
Graha Sekar Jagad, Hotel Santika, Yogyakarta
Sabtu, 21 November 2009

Workshop ini diikuti peserta anggota DPRD Prov. DIY (PKS & PDIP), DPRD Kab. Sleman (Demokrat), DPRD Kab. Gunung Kidul (PDIP), DPRD Kab. Kulon Progo (PDIP dan PKB), dan DPRD Kab. Bantul, serta kalangan pengurus Parpol tingkat daerah di antaranya dari PAN dan Golkar.

Fasilitator workshop Agus Gunawan W. (staf ahli anggota DPD RI) mengantarkan sesi awal berupa curah pendapat pengalaman dan refleksi para peserta dalam kegiatan penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan APBD. Sesi berikutnya setelah rehat makan siang, dihadirkan
nara sumber Kasminto, Ak., MBA (Kepala Pusat Pembinaan Auditor BPKP Pusat).

Beberapa hal mengemuka dalam sharring antara lain:

  • RPJM seringkali hanya formalitas karena kurang optimal menjadi mekanisme serap aspirasi masyarakat, khususnya lapisan potensial atau konstituen, sehingga muatan aspirasi yang masuk ke dalam usulan penganggaran seringkali diusung oleh pihak-pihak yang dominan.

  • Tidak-memadainya grand-design pembangunan daerah berkelanjutan akibat sirkulasi atau pergantian Kepala Daerah kerap diikuti pergantian/perubahan pola prioritas pembangunan (diskontinuitas).
  • Proporsi perencanaan penganggaran terkadang tidak terukur dan mencerminkan ketidak-seimbangan antara proyeksi pembiayaan fisik (infrastruktur) dan pembangunan sosial sehingga dapat menimbulkan diskontinuitas arah strategi pembangunan di daerah.

  • Umum terjadi bahwa alokasi pembelanjaan kegiatan pokok (gaji pegawai, ATK, dan biaya operasional lainnya), baik secara langsung maupun tidak langsung lebih besar daripada untuk pembiayaan pembangunan.

  • Model penganggaran berbasis kinerja berakibat anggaran menjadi besar pasak daripada tiang, bahkan lazimnya menggunakan rumus 3 : 1 (3= pos yang harus dipenuhi, dan 1= dana yang tersedia).
  • Trend isu politik momentual, misalnya agenda pilkada maupun pileg, acapkali mempengaruhi kenaikan skala dan kapasitas anggaran di suatu daerah, dan ini relatif sulit dikontrol termasuk oleh masyarakat.

  • Potensi pemborosan akibat tumpang tindih sasaran dan sumber pembiayaan seperti alokasi pos untuk Dinas-Dinas yang terpisah, padahal sumber dan sasaran tersebut dapat dijadikan satu.

  • Banyak kerancuan UU yang bertentang dengan UUD 1945 psl. 33 ayat 2, yang sebenarnya dapat dianulir, atau batal demi hukum.

  • Politik penganggaran di Indonesia yang rumit dan tidak jelas. Bahkan, sering tidak pro poor.

  • Program dan platform Parpol tidak berbasi ideologi yang jelas sehingga tidak ada perbedaan prioritas pembangunan dan penganggaran apabila, misalnya Kepala Daerah A dipimpin oleh kader PDIP dibanding dengan Kepala Daerah B yang dipimpin oleh kader Golkar atau Demokrat.

  • Pengalaman Eksekutif lebih terbiasa dan terkadang tricky dalam mengusulkan perencanaan penganggaran, sementara Legislatif cenderung lebih banyak melakukan bongkar pasang.
  • Instrumen pengawasan anggaran di Indonesia terus menerus dilengkapi dari waktu ke waktu. Tetapi, dibanding negara lain, misalnya di AS dan Eropa, kita terttinggal jauh. Di sana apa yang mau diaudit menjadi jelas dan terbuka, dan sewaktu-waktu dapat diakses oleh masyarakat. Di berbagai negara, peran inspektorat jendral (Irjen), dan bahkan Menteri nya sekalipun independen, sehingga semua auditornya pun menjadi independen dan terbuka. @ms

Tidak ada komentar:

Posting Komentar