Kamis, 31 Maret 2011

Diskusi Rutin ke-12 (Sabtu, 2 April 2011)

Bagaimana Strategi Penggalangan Dana untuk Penguatan Partai dan Politisi?
Strategi pendanaan partai politik selama ini tak mudah dijalankan karena keterbatasan sumberdaya internal partai di tengah aturan perundangan yang berlaku. Partai merupakan organisasi nirlaba, dengan demikian dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Tidak diperkenankan menerima atau memberikan
sumbangan apapun bentuknya dari pihak asing, juga tidak boleh meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara.

Selain itu, tidak diijinkan memperoleh sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan melebihi yang ditetapkan UU, dan dilarang menerima uang, barang ataupun jasa tanpa
pencantuman identitas yang jelas (noname, NN), serta tidak boleh mempergunakan fraksi di DPR/DPRD sebagai sumber pendanaan. Untuk yang terakhir ini, umumnya partai kemudian
menyatakannya sebagai sumbangan atau kontribusi kader terpilih yang duduk di legislatif maupun eksekutif (selected politician) sebagaimana aturan internal partai.

Sementara dana operasional kantor (DPP/DPW/DPD/DPC) dan kebutuhan anggaran pembiayaan kegiatan-kegiatan partai untuk pelaksanaan program tentu sangat tidak cukup, bahkan mungkin tidak terbiayai jika hanya mengandalkan iuran anggota, sumbangan kader di fraksi serta bantuan keuangan APBN/APBD. Nyatanya sebagian besar partai, iuran anggota tidak berjalan optimal meskipun telah diatur dalam AD-ART.

Padahal partai selalu dituntut berdaulat dan mandiri sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas, dengan ketentuan pengelolaan keuangan diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar dalam organisasi profesi (Ikatan Akuntan Indonesia) dan dilaporkan periodik setiap tahun melalui publikasi media massa. Tetapi menilik revisi UU No. 2/2008 tentang Partai Politik yang disahkan DPR RI pada 16 Desember 2010, tidak jelas apakah audit dan laporan hanya berlaku bagi partai yang ada di Senayan saja, dan tidak meliputi tingkatan di daerah.

Sangat sulit bagi semua partai tak terkecuali yang besar maupun kecil untuk mengelola kas rekening dengan sumber-sumber pendapatan yang terbatas, legal dan bebas dugaan ‘electoral corruption’ akibat penyalah-gunaan kekuasaan politik. Sinyalemen atas kasus bail-out Bank Century mengingatkan kejadian sebelumnya seperti transaksi cessie Bank Bali (1999), dana investasi PT. QSAR (2001/2002), atau nonbudjeter Bulog (2002), yang disangkakan melibatkan partai politik.  

Strategi fund-raising untuk partai politik menjadi agenda krusial bagi pimpinan, pengurus dan kader. Dari beragam urusan terkait manajemen partai sejak tingkat pusat sampai daerah, agenda tersebut menjadi masalah yang problematis. Proporsi antara pengeluaran dan pendapatan dari tahun ke tahun untuk penyelenggaraan kegiatan partai di seluruh jenjang mengalami defisit anggaran. Lantas, pertanyaannya bagaimana “dapur ekonomi” digerakkan demi keberlangsungan rumah-tangga partai?

Menyiasati pro-kontra partai mendirikan atau mempunyai badan usaha kerapkali harus dilakukan dengan segala macam ‘modus operandi’ tanpa dimaksud melanggar UU. Pelatihan dan pemagangan bagi kader yang memiliki motivasi usaha, misalnya, merupakan upaya penting membangun kemandirian. Terutama sekali bagi calon politisi, sejak awal juga mesti menumbuhkan social entrepreneurship agar kemudian tidak bergantung pada sumber-sumber donasi yang fluktuatif.

Apabila business entrepreneurs mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya (laba atau keuntungan), maka social entrepreneur keberhasilaanya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh partai dan konstituen atau masyarakat. Apalagi politisi memiliki modal sosial (saling pengertian, kepercayaan, budaya kerjasama) sebagai kemitraan ekonomi untuk mencari peluang usaha profit (bukan kegiatan amal) yang sedang dibutuhkan masyarakat. Pertanyaan lain, sejauhmana hal ini dapat dilakukan melalui dukungan langsung maupun tidak langsung dari partai?

Penggalian dan penggalangan dana untuk kas partai sulit kiranya bila tidak bersumber dari kegiatan praktis bisnis orientasi profit. Namun, pastinya tidak harus di-atas nama-kan partai, tetapi sebagian manajemennya dapat dikelola ‘orang-orang partai’ yang bekerja profesional. Kecuali dimungkinkan mendirikan badan usaha yang tidak boleh mengajukan penawaran atas proyek-proyek terkait APBN/APBD, misalnya bisnis retail, minimarket, atau perdagangan umum lainnya.

Fund-raising acapkali dilakukan sporadis, tidak direncanakan secara matang dan tidak diarahkan dalam rencana jangka panjang partai politik, termasuk menjadikannya materi khusus pendidikan kader sekolah partai, misalnya. Berbeda halnya situasi masa lampau ketika partai benar-benar dihidupi basis sosial anggotanya (mulai era revolusi kemerdekaan sampai zaman orde lama), pada konteks sekarang sejak floating mass daya dukung konstituen melemah dan terfragmentasi. Kini, tantangannya adalah bagaimana partai menghidupi dirinya sendiri? Siapa dan dengan cara apakah sumberdaya internal diatur guna mencari terobosan penggalian dana yang fairness dan kompetitif? Sektor-sektor usaha ekonomi apakah yang relevan dikembangkan sesuai kondisi konstituen (baca: pasar) tanpa harus menjadikan partai sebagai fasilitator ‘penggerak’-nya?
Menyoal hal tersebut, sekretariat Forum Politisi Yogyakarta (FPY) mengundang bapak/Ibu politisi dalam diskusi rutin ke-12 yang akan diselenggarakan:

Hari/tgl  : Sabtu, 2 April 2011
Waktu   : Pkl. 09.45  s.d.  12.30  WIB (hingga makan siang)
Tema     : Bagaimana Strategi  Penggalangan Dana untuk Penguatan Partai dan Politisi?
Narasumber   
              : - Drs. H. Idham Samawi (DPP PDI-Perjuangan)
                -  Ambar Tjahyono,S.E. (Pengamat Politik)
Tempat : Ruang Jatinom, Lt. 1 Hotel Santika, Jln. Jend. Sudirman 19 Yogyakarta


Hormat kami, 
admin sekretariat Forum Politisi (FP) Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar