Kamis, 31 Maret 2011

Rekam Kegiatan Diskusi Rutin ke-1

Peluncuran Forum Politisi Yogyakarta
Yogyakarta Room, Hotel Santika, Yogyakarta
Sabtu, 14 Juni 2008

Acara ini merupakan peluncuran Forum Politisi (FP) Yogyakarta, yang didahului sesi peresmian Forum oleh Ketua DPRD Provinsi DIY periode 2004-2009, H. Djuwarto, dan diberi sambutan oleh Rainer Heufers (FNS Indonesia), selanjutan secara bergiliran tampil menyampaikan pernyataan politik dari Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB dan PBB.

Sesudah penyampaian pendapat umum, acara dilanjutkan dengan diskusi panel menghadirkan Dr. Daniel Dhakidae (peneliti dan pakar politik) selaku narasumber bertema “Parpol, Politisi Dan Kewarganegaraan Aktif”,
dan dipandu Hari Subagyo dari Sekretariat Forum Politisi. Berikut ini hasil catatan diskusi panel berlangsung:


  • Hampir boleh dikata tidak ada politisi dalam masa Orde Baru yang bergerak di dalam kehidupan umum. Satu-satunya yang bisa dikatakan semasa itu political beureucrat, kaum birokrat politik yang merancang politik dari segi dan cara melihat seorang birokrat. Reformasi mengubah semuanya, dan membentuk suatu kelompok orang atau insan politisi yang profesional. Profesionalisme dari politisi adalah berurusan dengan pemilihan menuju yang disebut public office, bisa diterjemahkan sebagai kantor, yaitu tempat di mana diambil keputusan-keputusan yang mempunyai dampak publik. Kita mendapati suatu community yang disebut politician atau politisi, yang selanjutnya partai berubah karena orang yang mengerjakan partai juga berubah dan orang yang hidupnya dirancang menurut partai juga berubah, yaitu para politisi. 

  • Orde Baru tidak mengenal partai kecuali sebutan Orsospol (Organisasi Sosial Politik). Ada 3 partai, 2 di antaranya sangat berani mengatakan dirinya partai satelit, yaitu PDI dan PPP. Partai satelit adalah partai yang mengacu pada partai induk/utama, yaitu Golkar. Kalaupun Golkar merupakan induk, juga keliru besar karena Golkar mengacu ke tempat lain. Sehingga Golkar yang kita katakan sebagai partai induk sebenarnya juga partai satelit. Partai yang tertinggi, yaitu super Partai adalah militer dan birokrat. Kita lihat ada semacam hirarki antarpartai satelit, partai induk dan super partai karena tidak ada suatu otonomi di dalam partai. Yang berlangsung di sana adalah kesemuanya bergerak dengan peraturan yang dirumuskan di luar mereka yaitu oleh militer dan birokrasi, dan itu harus dipatuhi oleh partai-partai tersebut.

  •  Reformasi memang mengubah hampir seluruhnya, dalam pengertian bahwa hierarki di dalam struktur kepartaian praktis tidak ada. Golkar tidak bisa lagi mendikte. Mendikte dalam arti begini, Golkar pada masa Orde Baru menetapkan dia harus mencapai 72%, dia kerjakan yang 72% itu dan 2 partai yang lain tidak mungkin mencapai lebih dari 28%. Kerja sehebat-hebatnya 2 partai yang lain hanya mendapatkan suara dan membagi 28% suara itu karena Golkar sudah menetapkan 72% menjadi miliknya. Semuanya dikerjakan menurut apa yang sudah ditentukan oleh Golkar. Tapi Golkar juga ditentukan oleh dua super partai di atasnya, yaitu birokrasi dan militer. Hal demikian sekarang ini sudah tidak ada lagi.

  • Pada era reformasi seluruh kehidupan bangsa ini ditentukan oleh partai. Tidak ada orang yang boleh menjadi bupati, gubernur bahkan presiden tanpa melalui partai. Itu perubahan besar yang memberikan porsi penting, bahkan terlalu penting bagi para politisi bergerak. Di sini politisi dan partai menjadi semacam political substrate, asal kata substractum yaitu suatu dasar atau suatu lapisan di mana semua yang lain berkumpul. Substractum merupakan istilah pertanian, yaitu satu lapisan di mana ada air, tanah, pupuk, dll, semuanya bertemu dan berlangsung suatu kehidupan. Reformasi dalam arti itu adalah memberikan kepada partai, kepada politisi untuk menjadi men-substrate politik di mana kehidupan itu mulai dirancang dan mulai dikembangkan.

  • Sekarang ini, ambil contoh kasus Ahmadiyah. Tidak ada politisi yang berbicara atas nama politisi. Tidak ada partai yang berbicara atas nama partai. Pandangan orang tentang partai menurun. Partisipasi dalam Pemilihan Umum semakin rendah, setinggi-tingginya 65%.  Bagaimana orang menghargai politisi dan partai kalau hak warga negara, yang kebetulan minoritas Ahmadiyah sebagai umat yang tidak dilindungi, dan harus tunduk pada mainstream agama tertentu. Reformasi bukan sesuatu yang dirancang tapi sifatnya dadakan, perubahan tanpa guideline, garis besar untuk membimbing perubahan negara.

  • Kondisi Parpol dan politisi sangat terkait aturan main UU politik. Setiap kali menyongsong pemilu, UU Politik pasti berubah sementara UU lain tidak berubah. UU politik sangat produktif. Perubahan ini positif dan negatif. Politisi kita hanya inward looking, lebih banyak melihat ke dalam kantong sendiri, bukan kepentingan publik. Korelasi politisi dan masyarakat ringkih. Fakta itulah yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Parpol.

  • DPR adalah tempat untuk bicara. Rakyat membayar dengan pajak, dll, supaya DPR berbicara. Tidak ada pekerjaan lain kecuali bicara dan dibayar untuk bicara dan menjadi pembicara profesional. Karena itulah disebut Parlemen, yaitu Parle’ yang merupakan bahasa Perancis, artinya to talk, berbicara. Persoalannya, yang dibicarakan di Parlemen sangat berbeda dengan berbicara di luar parlemen. Pembicaraan di luar Parlemen tidak ada konsekuensi publik, dalam arti keputusan untuk sesuatu yang punya dampak publik. Tapi pembicaraan di parlemen mempunyai konsekuensi publik, punya dampak terhadap keputusan yang diambil sehingga dampak terhadap keputusan yang diambil, dan keputusan itupun punya dampak lagi di bawahnya lagi.@ms


Tidak ada komentar:

Posting Komentar