Kamis, 31 Maret 2011

Rekam Kegiatan Diskusi Rutin ke-4


PARTISIPASI PEMILIH PEREMPUAN:
Tantangan dan Peluang Pada Pileg 2009
Graha Sekar Jagat, Hotel Santika, Yogyakarta
Sabtu, 29 November 2008
 
 
Diskusi ini dihadiri 47 peserta dari 13 parpol, yakni PG, PD, PDIP, PKB, PAN, PKS, PBB,  PKNU, PMB, Gerindra, PDP, PDK, PPRN, dan seorang anggota KPUD DIY. Narasumber diskusi Siti Ruhaini Dzuhayatin dari Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dengan paper ”Perempuan dan Kecenderungan Politik Kontemporer” dan sosiolog UGM Ari Sujito berjudul makalah ”Suara Perempuan dalam Pemilu 2009: Mendiagnosa Peta dan Agenda Artikulasi”.  Acara dipandu oleh Hari Subagyo dari Sekretariat Forum Politisi (FP) dan diberi kata penutup Rainer Huefers, Direktur Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) fuer die Freiheit. Berikut ini beberapa pokok pikiran terlontar sepanjang floor diskusi, antara lain:

  • Keterwakilan perempuan 30% meski belum sepenuhnya ditaati keseluruhan  parpol dapat dipahami sebagai bagian advokasi kesetaraan gender dalam pengembangan demokratisasi. Selama ini marginalisasi partisipasi perempuan terjadi akibat: (1). Belum tumbuhnya demokrasi internal di dalam parpol lantaran gejala oligarkhis yang mem’blokade’ elemen potensial, (2). Buruknya kaderisasi terlihat saat kampanye yang ”fragmented but not difference” dengan melulu jargon, serta (3). Budaya patriarkhi menghalangi kesetaraan dalam pengambilan keputusan partai. 
  • Parpol harus gencar menyelenggarakan pendidikan politik sebab mereka sejatinya yang memiliki ’gawe’ dan KPU hanya semacam ’EO’ saja.  Dalam demokrasi kini setiap orang dewasa sudah berdaulat, sehingga jangan sampai 5 tahun ke depan masyarakat melihat tidak ada perubahan.
  • Kebijakan afirmatif memberi akses perempuan lebih dekat ke arena politik. Politisi sekarang harus dapat lari maraton. Tak hanya mendinamisasi KINO partai, tapi juga  mendaratkan kampanye ke isu kongkret, seperti masalah sosial, ekonomi rumah tangga, kesehatan, pendidikan, moral, lingkungan atau subsidi BBM.
  • Dimensi kiprah perempuan —sambil mengutip Khofifah Indarparawangsa—dijawab narasumber tak lepas dari 3N, yakni ”nasab, nisob dan nasib”. Nasab menggambarkan menguatnya nepotisme yang sering terkait kehadiran figur laki-laki di mana politik menyerupai bisnis keluarga, sementara nisob mencerminkan simbolisasi materi, dan nasib merupakan keberuntungan spekulatif.
  • Parpol dan kandidat perempuan perlu sub-platform yang lebih rasional, bahkan jika waktu semakin sempit, gunakan tiap kesempatan, misal arisan, pengajian, temu PKK atau kader posyandu lansia, sebagai shortcut dalam berkampanye. Mendayagunakan mereka sebagai critical voters atau women for women. Mengonsolidasi jejaring sosial dengan meniatkan politik adalah komitmen. Sebab rakyat tak seluruhnya pragmatis. Apalagi jumlah pemilih perempuan jauh lebih besar daripada pemilih laki-laki.
  • Jika sindroma rekayasa Orba mengendapkan karakter pemilih patuh (docile voters) dari pengalaman Pemilu terakhir (2004) pemilih perempuan kini cenderung melihat citra idola, misalnya ganteng, gagah, dan pintar. Pemilih belum mampu berpikir jernih, mengaitkan kenaikan sembako (beras, minyak, dll) sebagai urusan politik.
  • Positioning tokoh yang dianggap mewakili itu adalah siapa yang nampang diiklan. Iklan TV sangat efektif menjangkau konstituen perempuan. Misalnya, Partai Gerindra mengenai pasar tradisional mendongkrak popularitas image tokoh dan parpol baru dihadapan kaum ibu dan pedagang. 
  • Saat ini masyarakat jarang mau jadi volunteer sehingga cukup sulit bagi caleg bermodal cekak. Padahal tak sedikit celeg aktivis dulu tahun 1990-an giat mengadakan voters education.  Dalam kultur Jawa yang kolegial, resiko sosial caleg diibaratkan SLJJ (“sonjo, layat, jagong, jajak’e”), artinya: mengunjungi kerabat, melayat orang meninggal, menghadiri hajatan, dan mentraktir. Beranikah kita mengubah mental itu dengan kebalikannya, misal justru mengumpulkan dana dari teman dan kerabat sendiri sebagai modal perjuangan/berkampanye. Kita harus membedakan money politics dengan political cost.
  • Keputusan MK tentang suara terbanyak juga berdampak saling ‘desak’ antarcaleg separtai. Sehingga tak jarang caleg justru lebih suka langsung ke simpul-simpul masyarakat daripada melalui struktur pengurus organisasi partai di bawah. Banyak yang bekerja individual, terutama di dapil-dapil yang kompetitif. 
  • Diakhir acara, peserta floor mengusulkan beberapa tema diskusi FP ke depan, antara lain: (1). teknik dan mekanisme pemilu; (2). prospek kampanye bersih tanpa money politics; dan (3). mengatasi gesekan pendukung akar rumput.@ms

Tidak ada komentar:

Posting Komentar